Pages

Rabu, 25 Juni 2008

Sesudah 100 tahun membentang (1908-2008)

Berdiri kita di tebing yang menjulang

Samudera waktu bersama kita pandang

Adalah sejarah yang membayang

Seratus tahun telah terbentang

Peristiwa demi peristiwa pergi dan datang menggelombang

Dalam skala besar dunia berperang dua kali

Dalam ukuran sedang dunia berperang berpuluh kali

Dalam ukuran kecil konflik berlangsung tak terhitung kali

Kolonialisme memuncak dan kolonialisme berguguran

Bangsa-bangsa tertindas merebut bendera kebebasan

Kita pancangkan Merah Putih itu dan dia berkibaran

Tampakkah olehmu di bawah sana

Rimba tiang dengan bendera dua warna berkibaran

Tampakkah olehmu sebentang poster

Sebuah negara baru saja merdeka

Tampakkah olehmu orang-orang menakik getah pohonnya

Menguliti dahannya, menumbuk akarnya,

Meremas ekstrak cairannya

Mengendapi simpul-simpul syaraf nasion

Membuat harmoni dalam komposisi

Merumuskan formula sebuah bangsa

Bertahun-tahun, berpuluh tahun lamanya

Berpuluh tahun kita mencari bentuk demokrasi

Yang tepat formatnya bagi kita serta serasi

Tetapi masih juga bablas di sana-sini

Berpuluh tahun hukum kita tegakkan agar kukuh berdiri

Tegak dengan lurus berakar ke dalam bumi

Tetapi betapa rumitnya meneguhkan ini

Selesai satu krisis muncul dua krisis lagi

Bencana sedang menimpa timbul bencana kedua

Betapa berat merawat dua ratus juta mulut yang menganga

Sembuh satu penyakit manusia meruyak penyakit hewan lagi

Mereda dua buah ekses timbul tiga ekses menanti

Sesudah gempa, tsunami, banjir air dan banjir lumpur menjadi-jadi

Beban hutang 1600 trilyun rupiahnya

Terbungkuk bahu kita dibuatnya.

Di negeri ini antara halal dan haram tak jelas batasnya lagi

Seperti membedakan warna benang putih dan benang hitam

Di hutan kelam Jam satu malam Kepemilikan tidak dihargai

Undang-undang, peraturan, prosedur diinjak dengan kaki

Tata-cara, etika, basa-basi apalagi Semua harta dan benda di antara bumi dan angkasa dihabisi

Hutan, tambang, bumi, minyak, air, pasir,

Bank, bisnis, birokrasi,

Dihabisi.

Teringat kita, sebuah bendungan besar terban satu dasawarsa yang silam

Suaranya gemuruh menderu-deru ke seluruh penjuru

Membawa perubahan politik kenegaraan, berbagai aspeknya

Tetapi bersama jebolnya bendungan itu, ikut terbawa pula

Hanyutnya nilai-nilai luhur luar biasa tinggi harganya

Nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa

Pengorbanan, tanggung-jawab, kebersamaan, optimisma

Keberanian merubah nasib, ketertiban, pengendalian diri,

Penghargaan pada nyawa manusia.

Perilaku kita sebagai bangsa mulai berubah

Sedikit-sedikit tersinggung, teracung kepalan dan marah-marah

Lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah

Berteriak dengan kata-kata sumpah serapah

Hati meradang, suara serak, mata pun merah

Sungguh sirna citra bangsa yang ramah-tamah

Kebringasan menggantikan senyum yang habis sudah

Ucapan keji mengganti kosa kata yang lembut dan lemah

Dalam sebuah adegan luar biasa kebalauan

Sesudah usai sidang, tegaklah hakim, jaksa, panitera dan pesakitan

Kemudian ketika yang dirugikan minta keadilan

Orang akan dihadapkan pada bursa penawaran

Penawaran jual beli keputusan pengadilan

Melalui jaringan mafia, calo, perantara dan petugas orang dalam

Sehingga bisa diatur keras lunaknya palu yang diketukkan

Karena "h-a-k-i-m, hubungi aku kalau ingin menang" ) begitu diucapkan

Demikian dilisankan

Demikian dalam kenyataan

Demikian dipraktekkan

Demikian kuasanya, tak tersentuh, tandus akal sehat dan nurani

Tiada kontrol, eksklusif tanpa investigasi

Bebas dari pengawasan eksternal, semakin menjadi-jadi

Ratusan triliun bila dirupiahkan, bangsa selama ini rugi.

Saudaraku Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?

Masih adakah?

Dengan lirih ada yang berkata

Mudah-mudahan, barangkali masih ada

Karena di bawah mendung yang berat menggantung

Ada tampak kecil seberkas cahaya

Karena ada bahagian tak tampak dari wajah bangsa

Tak disebut di koran, sosoknya tak tampak di media massa

Yang tetap bekerja keras melakukan tugasnya

Petani-petani di desa yang mensubsidi nasi orang kota

Buruh yang bergaji rendah tapi tetap saja bekerja

Guru-guru yang mengajarkan ilmu dengan setia

Birokrat yang bersih tak sudi diperciki noda

Penegak hukum yang masih rapi nuraninya

Bersahaja semua hidupnya, dalam warna sederhana

Negeri kita disayangi Tuhan adalah karena mereka

Karena doa dari rakyat yang melarat tak tampak wajahnya

Doa orang sakit yang terbaring di permukiman sederhana

Ditolak di rumah sakit karena tak kuat membayarnya

Doa 6 juta anak Indonesia yang ingin bersekolah juga

Doa 15 juta penganggur yang merindukan lapangan kerja

Merindukan pagi Indonesia bermandikan cahaya

Ketika orang-orang berkemas pergi bekerja

Ada yang bertani bercocok tanam

Ada yang berdagang memutar ekonomi

Ada yang mengajar menyampaikan ilmu

Ada yang merawat birokrasi menyelenggarakan pemerintahan

Ada yang kukuh menegakkan hukum dan keadilan.

Saudaraku, Masih adakah kiranya harapan bagi kita, manusia Indonesia?

Mudah-mudahan masih ada Ya, memang masih ada

Selepas seratus tahun bilangan masa

Mari kita berhenti menyalah-nyalahkan siapa

Dalam buku harian kita Mari kita coret kata putus-asa

Dalam kamus bahasa kita Karena kita akan bangkit bersama

Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa

Dari atas sampai ke bawah Kerja keras, kerja keras, kerja keras semua

Kemudian berdoa, berdoa, berdoa semua

Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa

Semoga Indonesia kita Tetap disayangiNya Selalu dilindungiNya.



-Taufiq Ismail-

0 komentar: